Bekerja Dengan Dedikasi
Omlet genggam untuk sarapan di Bhaktapur |
Rada telat, seperti biasanya. Aku baru mulai menonton Street Food : Asia di Netflix kemarin, setelah aku menuntaskan dua season Meteor Garden. Bye Ah Si! Ya, hingga hari ini aku baru mau memasuki episode yang Korsel, tapi aku ngga mau nonton dulu, soalnya empat episode pertama (YANG YOGYA KENAPA KESKIP) banyak bawangnya.
Iya, aku nangis Bombay gara-gara nonton video dokumenter para penjual panganan ini.
Aku terpukau dengan semangat si Nenek penjual Tom Yam yang masih super kuat berdiri semalaman menghidangkan kesempurnaan untuk orang-orang lapar yang mampir di kedainya. Kesempurnaan, itu wajib buatnya. Nggak apa, pantaslah dapet bintang Michelin. Aku mewek karena ini Nenek batu banget dari jaman muda. Dibilang nggak boleh masak sama ibunya lalu dia diam-diam belajar masak sendiri. Huhuhu.. and her signature red lipstick is just amazing.
Aku ikut remuk pengen peluk Kakek humoris penjual olahan ikan laut di Osaka, karena belio terlihat seperti pribadi yang hangat dan legowo. Susah-susah dia nabung 10 tahun untuk mengumpulkan 11juta yen buat bikin kedai mobile, lalu bapaknya meninggal sampe kudu habis 7juta yen. Bapak yang waktu kecil suka mukulin dia, mabuk-mabukan, dan jarang ngasih makan…sampai dia harus masak dari rerumputan. Remuk, pak… Kakek ini selalu bercanda ketika melayani pembeli. Belio sangat cinta memasak, hingga sekarang dia memilih hidup sendiri. Berharap dia mati ketika bekerja..
Aku masih berkaca-kaca mengingat wajahnya ketika dia bilang berharap mati saat bekerja. Kenapa to, Mbah?
Atau di episode India, seorang Bapak penjual Chaat yang hidupnya susah dari lahir. Orang tua meninggal, kakak pecandu dan pergi dari rumah, ngga punya duit, cuma bisa bikin Chaat, tanpa dia tahu ada sodarinya nggadein perhiasan buat modal awal dia jualan. Jualan awalnya ngga laku-laku amat, sampai belio pindah lokasi dagang, berhasil mengajak kakaknya yang sudah sober kembali pulang, memakai bahan-bahan terbaik untuk masakannya dan hingga akhirnya berhasil. Ini masakan yang harus melibatkan seluruh anggota keluarga, katanya.
Hadeh..
Aku juga ambyar dengan Bapak pembuat Sup Kambing Tiga Hari di Taipei yang merelakan hidupnya susah-susah karena cara memasak yang sungguh berbahaya. Si Bapak punya ruang khusus untuk memasak sup-nya, ruangan yang sungguh panas dan berasap entah seperti apa, lalu dia mengubur kuali tanah liat berisi sup itu, dan kembali tiga hari setelahnya. Katanya paru-parunya sudah bermasalah dan harus mengeluarkan dahak tiga jam setiap malam setelah ritual memasak tersebut. Belio bangga betul karena sup-nya diklaim pelanggan dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Karena membantu aliran chi yang lebih lancar, katanya.
Ada aja ya orang ngurbanin diri dengan cara memasak yang ekstrim kaya gini..
Dari kesemuanya, ada beberapa hal yang kucermati. Mereka semua memiliki keinginan yang kuat, keras kepala yang betul-betul, dan dedikasi yang luar biasa terhadap pekerjaannya. Mereka semua tidak pernah menganggap pekerjaan sebagai tukang masak yang berjualan di pinggir jalan adalah pekerjaan remeh. Mereka super serius dan hanya ingin memberikan yang paling sempurna dari yang sempurna bagi para pelanggan.
Selalu ada kebahagiaan ketika masakan yang dibuat dicintai penikmatnya. Hingga mereka akan datang dari manapun untuk semangkuk mi buatan kita. Hingga mereka rela antre berjam-jam demi mencicip sup yang kita buat.
Gila.
Tapi sebenarnya hal-hal ini bisa diimplementasikan dalam seluruh pekerjaan di semua bidang. Betul itu.
Aku selalu berterima kasih pada orang-orang seperti ini. Yang melayani sepenuh hati. Yang mengapresiasi seluruh bentuk kehidupan dalam proses bisnis di dalamnya. Orang-orang yang tidak sekedar bekerja. Tapi berdedikasi. Sekali lagi, terima kasih.
Comments
Post a Comment