Mendua Semesta
Malam itu tidak turun hujan, juga
malam-malam sebelumnya. Hujan menjadi barang yang cukup langka belakangan,
musimnya mulai tergantikan oleh rambutan dan durian.
Asih termangu di depan meja
belajarnya, memandangi teks-teks yang berbaris di layar laptop sambil sesekali
mengikuti senandung dari pemutar musiknya. Matanya berangsur pindah ke ujung
bawah layar, menatap angka digital yang terlalu cepat berganti.
07.58 PM.
Pekerjaannya masih cukup banyak,
tenggat waktu sudah semakin dekat. Ditutupnya akun jejaring sosial yang kerap
kali mengganggu, mengintip orang-orang yang mengeluh, melihat orang-orang yang
sedang kasmaran, tersenggol orang-orang yang banyak pamer. Ini malam minggu,
mengapa mereka tidak keluar rumah saja untuk pergi makan dengan teman atau
teman kencan misalnya, atau tidur-tiduran sampai tidur semalaman?
Kali ini ponsel yang mengganggu, menyita perhatian bawah sadarnya.
Menyita harap bahwa suatu waktu akan dikirimi pesan pendek tidak penting atau
telepon nyasar dari penipu minta pulsa.
Tidak, Asih menunggu Bumi.
08.10 PM.
Hahahahaha!
Tawa membahana dimana-mana. Semua
orang mempekerjakan mulutnya dengan seksama. Ada yang bicara empat mata, ada
yang tertawa, ada yang mengunyah sepotong tahu goreng yang diberi sambal kecap,
sisanya mencecap secangkir kopi sambil memaksimalkan matanya untuk melihat para
tamu berdatangan.
Ada sekelompok pemuda, berpakaian
kasual, dengan kaos dan celana pendek juga bersendal,
diantaranya ada pria kurus berkulit pucat dan sedikit berkumis, dialah Bumi.
Matanya bergerak-gerak kesana kemari, bagai metal-detector
dia mengecek tiap wanita yang masuk melalui pintu kedatangan.
Ah, manis juga. Sayang bokongnya
kurang oke, hmmm..tapi dadanya boleh juga.
Bumi kemudian kembali mengikuti
arus obrolan teman-temannya. Sepak bola? Tentu dia akan lebih mendengarkan.
Bumi bukan seorang penikmat sepak bola. Lebih baik dia diam dan mendengarkan
sambil kembali melatih ketajaman matanya.
08.22 PM.
Kasur Asih minta perhatian. Namun
gerombolan semut hitam dibawahnya lebih menyita perhatian.
Huh. Teh Kardus sialan.
Sedikit terhuyung kemudian Asih
merebahkan punggungnya. Menatap langit-langit kamar sebentar, lalu bermain Sudoku di dalam
telepon genggamnya. Dia berharap malam itu hujan. Sudah dua malam dia tidur
bersimbah keringat. Kipas angin tuanya tidak membantu.
08.30 PM.
Kertas-kertas flyer digambari belakangnya. Tangan Bumi
pelakunya. Hewan-hewan itu diadu dengan manusia. Tinta bolpoin jadi senjata.
Oh, Bumi.
Semua tampak lebih gelap di
kepala Bumi. Hewan-hewan setengah jadi yang kawin dengan sosok wanita telanjang
yang juga setengah jadi. Kakinya menjuntai. Tak punya wajah. Yang terlihat
jelas hanya dua kaki belakang yang terbelit akar pohon kerontang, tanpa daun. Pinggul
wanitanya meronta.
08.55 PM.
Asih mulai lelah menunggu kabar
dari Bumi. Dia memilih kembali ke pekerjaannya. Mengamati deretan teks-teks
digital yang terpampang di layar laptopnya. Kalau bisa, Asih akan meninggalkan
kedua matanya di depan layar, melepas kedua tangannya di atas keyboard, tak lupa otak kirinya juga di
taruh di atas meja, sementara otak kanan dan tubuhnya yang lain rebahan di
kasur, memikirkan Bumi.
Oh, Bumi.
Semesta menyitamu. Semesta
membawamu. Pikiranku direnggutmu.
09.10 PM.
Batang rokok keempat baru saja
mati. Malam minggu masih jauh untuk ditangguhkan. Parkir kendaraan bermotor
semakin penuh. Ada yang datang sendiri, ada yang berpasangan, bergerombol,
pasang-surutnya mengalahkan air laut. Obrolan
bagai air teh dan gula yang semakin larut. Candu yang manis dimakan waktu.
Bumi menikmati candu waktu. Sudah hampir tiga jam di tempat itu. Dia lupa jika punya janji. Tak diingatnya jika dia dinanti.
09.24 PM.
…
YK, 19 Mei 2012.
Untuk B yang kerap menduakanku dengan
Semesta.
Comments
Post a Comment