Soal Menjadi Penggemar

Saya seringkali kagum dengan mereka yang memiliki idola. Mereka yang menjadi penggemar dari tim bola, mereka yang menjadi penggemar dari grup musik, mereka yang menjadi penggemar dari aktor atau aktris misalnya. Mereka yang dari kecil hingga sekarang sebesar kulkas masih memiliki idola yang sama (terlepas kalau di biodata MySpace kita menulis: "Idola: Mama atau Ayah atau juga Nabi Muhammad", buat saya itu tidak masuk hitungan). Saya, belum pernah menjadi penggemar sepenuhnya. 

Ketika saya SD, saya pernah mengidolai beberapa orang. Oke, sebutlah jaman itu boyband begitu marak seperti sekarang, saya sempat menyukai Westlife, ketika kelas 4 - 6 SD (1998-2000) pada saat itu, saya membeli kaset Westlife, tapi tidak semua, hanya album 'Westlife', 'Coast to Coast' dan 'World of Our Own'. Selesai lulus SD  disitu saya berhenti membeli kaset, mengumpulkan pin-up dari majalah, mengoleksi artikel (tapi tidak mengklipingnya), mengumpulkan stiker, dan macam-macam rupa Westlife. Selesai disana, semua koleksi saya berpindah tangan pada adik kelas yang tidak terlalu saya kenal semasa SMA, saya memberikan semua koleksi saya padanya, karena pada saat itu (SMA) dia masih suka sekali dengan Westlife. Oh, jika ngobrol tentang kaset pertama yang saya beli, itu adalah album pertama Sheila on 7. Belinya di BSD Plaza, dibeliin Mama. Kasetnya saingan sama Westlife masuk tape-deck Polytron Ayah saya. 

Ketika masuk SMP, selera musik saya pun turut berganti. Siapa pula yang tidak berganti bila hari-harinya diasuh MTv. Saat itu saya bertemu teman-teman yang suka dengan Blink 182, Green Day, dan errr..Avril Lavigne, tapi diantara semua, saya lebih memilih mendengarkan The Calling. Saya hapal seluruh lirik di lagu-lagu dalam album Camino Palmero. Terlebih, pada saat itu saya naksir vokalisnya, Alex Band. Walkman saya nyaris ganti batre tiap dua atau tiga hari sekali karena kemana-mana maunya sama Alex Band (prek!).  Tapi, seperti yang diketahui, The Calling hanya bertahan di album pertama saja, dan Alex Band gonta-ganti cewek...... Oke, saya juga suka Blink 182, lagi-lagi terlebih karena teman dekat (yang kemudian saya naksir) itu juga suka sama Blink 182 (bahasan ini sudah pernah ditulis di blog saya yang lama di sini.), saya pernah diberi dua buah kaset album Blink 182 yang belum MTv banget oleh saya-lupa-siapa. Album yang waktu itu keluarnya pas saya masih TK dan baru masuk SD, yakni Cheshire Cat (1994) dan Dude Ranch (1997), saya baru sadar bahwa dua album tersebut adalah album penting, dimana itu adalah masa transisi mereka dari Punk Rock ke Pop Punk. Sayangnya kedua kaset itu sekarang hilang entah kemana, seingat saya dipinjam teman dan LUPA tidak dikembalikan. So sad...

Selain The Calling dan Blink182, Ayah saya yang suka mengajak saya nonton pertandingan sepak bola di TV itu secara tidak sengaja membuat saya jatuh cinta pada sosok David Beckham. Awalnya saya hanya suka nonton sepak bola saja, biasa..sampai suatu hari Beckham membuat saya tiba-tiba dewasa. HAHA. Ya, lalu saya membaca Kartini yang ada Beckham-nya, ada artikel panjang ulasan tentang Victoria-Beckham yang akhirnya bersama, saya gunting dan saya kliping bersama dengan artikel lainnya tentang Beckham. Kesukaan saya tentang sepak bola diakomodasi oleh teman sekelas saya - yang juga wanita - penggemar sepak bola. Tapi dia sukanya sama Zinedine Zidane. Jadilah semasa SMP kami yang sekelas, dan kadang sebangku itu ngalor-ngidul ngobrol soal bola. Sampai terakhir saya pulang ke rumah orang tua saya bulan lalu, adik saya masih menemukan sebundel kliping David Beckham milik saya. Dan saya pasti jadi senyum-senyum sendiri kalo liat kliping itu.

Secara nggak langsung, Ayah saya yang sangat suka dengan Kla Project itu perlahan membuat saya juga menggemari Katon Bagaskara and the gank tersebut. Yaaa...abisnya kalau lagi liburan saya suka nyetel VCD Kla Project yang ada sesi karaokenya trus nyanyi-nyanyi sendiri pake mic, ya kadang bareng tante saya yang juga suka nyanyi.

Lulus SMP, saya diterima di salah satu SMA negeri cukup prestisius di Tangerang sana (HUWEK!), saya pun kembali ditemukan dengan teman-teman yang super-random. Teman sebangku saya selama tiga tahun adalah wanita penyuka poceng (alias pop-cengeng, istilah ini dipopulerkan oleh Adrian J.P dkk). Lantas apakah kemudian saya lalu menangis berjamaah ketika mendengarkan Glenn Fredly, Rio Febrian dan kawan-kawannya? Oh tentu tidak. Biarpun kami sebangku selama tiga tahun, selera musik kami JUAUH berbeda. Saya yang mulai denger musik agak berisik pasca lulus SMP itu bukannya teredam tapi malah makin menjadi. Awal masuk SMA, saya mulai mendengarkan mbak-mbak bisa teriak kaya cowok di  sebuah band hardcore: StepForward (band yang udah ada sejak saya baru masuk SD tapi saya baru denger pas SMA, oh yaampun), wanita itu adalah Jill (yang kemudian saya baru lihat wujudnya yang dia begitu nyempluk nan manis lagi bawain acara di OChannel waktu itu), lalu saya juga punya lagu-lagu dari xREFLEXIDIRIx, sebuah band newskool hardcore, yang vokalisnya baru saya temui dan ngobrol panjang lebar sekitar satu bulan yang lalu setelah sekian lama dia teriak-teriak di kuping saya (oh, yaampun), dan lain-lain.  
        
Kegemaran saya ini diakomodasi karena salah satu teman saya semasa SMA, Koko, ada di dalam band bernama Rejected Kids (kamu boleh langsung googling bandnya) dia sering pinjemin saya CD burningan yang isinya macem-macem band punk koleksinya, entah dari mana saya juga jadi kenal seseorang bernama Rendy yang memiliki Terkubur Hidup Records (Bintaro) dia dulu sering telponin saya tiap hari, minimal setengah jam, sampai akhirnya entah gimana dia ke rumah saya, trus bawain beberapa kaset dan CD hc/punk macem-macem untuk saya, lalu entah bagaimana kami tidak pernah berkontak lagi, lalu di awal kelas dua tanpa sengaja dan itu pun karena proyek buku tahunan, saya bertemu dengan orang ini (AMPUN ZA!) dan kami berkawan baik hingga sekarang (sampai saya beberapa kali denger gosip bahwa kami pernah pacaran, ohemji). Di awal saya kuliah Riza memberikan saya banyak koleksi lagu yang cukup random yang dimasukkan secara semena-mena ke dalam hard disk external saya, mulai dari yang kuenceng sampai lagu pengantar tidur, jadilah saya makin banyak denger musik macem-macem.
    
ini Riza, sepertinya lagi laper banget. (dikenal sebagai gitaris dari Hellowar)
Tapi selama SMA itu saya tidak pernah yang benar-benar menggilai satu band saja. Entah kenapa. Mungkin sejak pada saat itu sampai sekarang saya sadar kemudian bahwa saya tidak pernah bertahan pada satu C-I-N-T-A betul-betul menjadi penggemar. Jadi kalau ditanya, kamu suka band apa? Saya pasti akan bingung njawabnya. Mending kalian kasih pilihan ganda semacam ujian masa sekolah dulu, nanti saya contreng band yang saya suka. Atau kamu kasih pilihan jawaban menjodohkan, untuk mengetahui seberapa kenal saya dengan band tersebut. Kalau ditanya, kamu mau lihat konsernya siapa? Pasti akan saya jawab dengan melongok isi dompet saya. Mungkin kalau ada riset soal budaya penggemar (seperti yang sedang saya lakukan), saya bukanlah contoh penggemar yang baik. Mungkin saya lebih memilih jadi pendengar daripada penggemar. Menjadi penggemar itu terlalu sulit bagi saya. Bagi saya penggemar itu harus total, walaupun sekarang banyak sekali penggemar instan (baru denger satu-dua lagu udah bilang DIE-HARD-FAN), menjadi penggemar bagi saya itu adalah dimana kamu menemukan sosok yang betul-betul kamu idolakan, sosok yang bisa merubah pola makan, jam tidur, atau mungkin cara berpikir kamu tentang suatu hal. Saya belum menemukan sosok itu, sosok yang bisa saya tulis di kolom influence MySpace saya.  
   

Margie.
          

Comments

Popular Posts